![]() |
Ilustration by him |
Sudah setahun lalu saya kembali ke kampung halaman saya, Lampung. Tapi ingatan itu masih sangat melekat. Ternyata empat tahun yang saya jalani bukanlah hal yang mudah dilupakan. Apalagi di rantau orang yang awalnya bener-benar membuat saya sangat asing. Suasana, bahasa, tradisi, sosial, makanan, dan orang-orang. Semua asing. Namun siapa yang akan menyangka jika sekarang saya merasa benar-benar rindu dengan kota Padang. Dan ... dia.
Setahun
lalu saat bandara Minangkabau dan pantai Padang yang terakhir tertangkap oleh
netra saya yang minus satu. Bau tanah berpasir dan hangatnya senja yang
mengusung kenangan-kenangan yang akan kita jadikan hiburan. Muara dan jembatan
tempat kita menyaksikan kapal-kapal nelayan yang menepi lalu kau ceritakan
padaku kisah cinta Siti Nurbaya. Bunyi rel kereta api dan lampu-lampu jalanan
yang kita padukan dengan kisah Malin Kundang. Serta wanginya aroma rendang dari
rumah makan Lamun Ombak yang selalu
menjadi favorit makananmu. Saya amat ingat.
Saya
harus mengakui bahwa saya rindu. Ingin kembali bertegur sapa denganmu dan bercerita sesuatu yang dulu
belum kamu ketahui. Tapi, ya sudahlah.
Tidak
ada kota yang bisa membuat saya jatuh cinta sebagaimana kota Padang dan
seisinya. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa mencintai kota yang kita
tinggalkan bersama. Namun disana saya merasa bahwa ada yang tertinggal setahun
lalu. Maukah kamu kembali ke kenangan setahun lalu?
Mari,
gandeng tanganku, kita menjelajah pada tahun sebelum saya mulai mengenal rindu.
Pertama,
pantai.
Saya
tidak tahu mengapa pantai memiliki daya magis sangat kuat untuk mendorong kita
menyaksikan senja yang kala itu kita sebut dengan ‘senja kita’. Hah, saya
tersenyum menulis kata itu. Mengapa juga kamu menamainya seperti itu. Memangnya
siapa kita?
“Kalau
pagi kita bisa menyaksikan fajar yang muncul dari balik gunung-gunung itu.
Kalau sore kita bisa menyaksikan senja di pantai,” katanya. “Kenapa ‘senja’
terdengar lebih romantis ketimbang fajar, ya?!” lanjutnya. Mulai saat itu senja
begitu sangat mengagumkan bagi saya.
Fenomena
yang tak akan pernah saya dapatkan di kampung halaman saya sekarang. Kalau
fajar saya bisa lihat mentari muncul dari balik pepohonan nun jauh disana.
Kalau senja saya juga bisa melihatnya yang kemudian tertutup pepohonan. Yah, di
kampung halaman saya tidak semenawan disana. Tidak ada gunung, tidak ada
pantai. Dan tidak ada kamu. Bagaimana di kampung halamanmu?
Kedua,
kampus.
Saya
beruntung karena kampus kita tidak begitu luas. Jadi saya acap kali bertemu
denganmu. Kalau ketemu di kampus saya enggan menyapamu yang sepertinya teramat
sibuk. Tapi, malah kamu yang duluan menyapa saya. Lalu kita sama-sama
tersenyum. Saya senang dengan banyaknya SKS yang saya ambil. Itu menambah
durasi saya bisa bertemu denganmu. Ah, kali ini saya khilaf. Tujuannya memang mencari
ilmu, tapi dia sebagai bonus tak mengapa kan?!
Apalagi kita sejurusan, tak mengapa ya kalau saya tanya bagaimana cara
membuat larutan HCL 0,1 M, meskipun... saya sudah tahu caranya. Uhuk...uhuk...
(maap ya.)
Ketiga,
pasar raya.
Pasar
tradisional, sih. Tapi tempat ini menjadi urutan tempat yang paling sering kita
kunjungi. Alasanya, ingin mencari inilah itulah. Intinya biar bisa jalan
sama-sama. Eh.
Pasa
raya, bagaimana kondisinya sekarang?
Pernah
kita berpanas-panas terpanggang terik matahari demi mencari barang yang kau
senangi. Kamu nggak tahu kakiku pegitu pegal. Itu pasar raya nggak kecil.
Luaaas. Dan masih saja kamu tidak menyerah walau udah 10 toko kita datangi,
demi sebuah jam tangan QnQ yang kamu bilang jam idaman itu. Hufh... akhirnya
kita istirahat dengan segelas es cappucino cincau yang ditambah dengan parutan
coklat dan keju. Ini nikmat sekali.
Setelahnya
kita pergi ke taman Imam Bonjol. Disana juga ada lapangan dan tribun dengan
atap berbentuk bagonjong khas rumah minangkabau. Disana kita mulai perbincangan
hal-hal yang kita senangi.
Omong-omong...
apa kamu masih suka menulis puisi?
Keempat,
toko buku.
Oh
my God, bagaimana mungkin kita amat menyukai satu tempat istimewa ini. Dimana
imajinasi kita berbaur dengan tumpukan buku-buku lalu menjadi sebuah... ah,
sudahlah. Ini adalah tempat pelepas kegabutan kita. Hehe. Beruntungnya kita
punya hobi yang sama. Kita berada di tempat itu sepuas kita tanpa ada yang
mengusik. Biarkan kita berdua. Bersama kata-kata yang kita rangkai di benak
masing-masing. Suatu saat pasti menjadi sebuah buku. Ah, kamu. Dan toko buku
itu.
Kelima, Pondok
Mie Ayam Mas Tri.
Ya
ampun... satu tempat yang tak akan pernah saya lupakan. Meski kadang tempat ini
mebuat saya lelah berkali-kali, namun tetap saja asyik. Saya bisa tertawa, saya
bisa melepas penatnya otak saya karena kuliah sepanjang hari. Dah, oh... ini
bukan tempat dugem atau sejenisnya. Ini hanyalah tempat makan mie ayam bakso.
Saya bukan pelanggannya, tapi saya pekerja di sini. Hehehe... di tengah
kesibukan kuliah dan organisasi saya sepanjang hari, saban sore jam 4 saya ke
sini untuk membantu kerja sebagai pelayan, tukang cuci piring, dll. Sampai
malam, tentu saja.
Tapi
bukan masalah bagi saya. Di sini saya bisa merasa bekerja dengan keluarga.
Mungkin karena kesemua karyawan berasal dari daerah yang sama dengan saya.
Belum lagi orang-orangnya yang teramat baik dan seru. Lalu, kamu kemana kalau
aku bekerja sesore itu?
Yah..
kamu ada disana juga.
Keenam,
angkot Padang.
Oh
tidak... kenapa pula saya rindu angkot yang kelewat ugal-ugalan kalau udah di
jalanan. Belum lagi sempitnya di dalam angkot kalau penumpang masih saja
berdesakan ingin masuk. Di tambah full music dengan volume keras. Gilak. Kerap
banget saya dibuatnya mual. Jadi, kenapa pula saya rindu?
Entahlah.
Kadang hal-hal yang ada di dalam angkot itu yang membuat saya rindu. Atau
karena kita teramat sering naik angkot. Hahaha. Anak perantauan jauh, mana
mungkin bawa kendaraan pribadi. Naik angkotlah.
Dan
masih banyak lagi tempat-tempat di Padang yang saya rindui. Saya ingin kembali
ke setahun lalu dan memunguti yang tertinggal. Kenangan-kenangan yang kita
lalui. Berjalan bersisian. Berlarian di tepian pantai. Bermain gitar di atas
batu besar sembari menyaksikan senja lalu aku bernyanyi Kemesrahan ini janganlah cepat berlalu... atau menikmati jagung
bakar di malam minggu di atas jembatan Siti Nurbaya lalu menyaksikan
kerlap-kerlip lampu kapal yang menepi. Atau kembali mengingat bagaimana kamu
memperlakukan saya sebagai seorang ‘wanita’, dimana saat saya tersandung karena
ada besi yang mencuat di trotoar lalu kamu akan memarahi si pembuat jalan.
Haha... atau berada di atas satu meja lalu mendiskusikan bagaimana puisimu
seharusnya. Atau, kamu diam-diam mengirim uang ke rekeningku karena kamu tahu
aku sedang kesusahan. Atau...ah. sudahlah.
Kamu.
Bagaimana
kabarmu sekarang?
Kapan
kita kembali ke Padang?
Kapan
kita menyaksikan senja bersama?
Kamu,
ada dimana?
Aku
rindu.
Furi Rain.