![]() |
Photo by tumbler |
"Jadi, apakah aku sedang berada di
masa depan?"
Ed
bahkan ingin segera menghilang saja. Meski tanpa sebab-musabab. Toh, Ny. Marry
Watson tak perlu repot-repot mengusirnya dari panti. Dan tak perlu mencari-cari
kemana ia menghilang. Yang perlu Ed dapatkan adalah sebuah buku tebal bersampul
coklat yang mirip seperti buku kuno di musium. Dan ia bersumpah akan pergi dari
panti ini setelah mendapatkanya.
“Kembalikan
bukuku, Tawnie Kendrick!” tegas Ed.
“Hei,
aku tidak mengatakan kau mencuri,” Ed menjebak Tawnie. “Aku melihatmu masuk ke
kamarku,” bocah kecil itu menunjuk pintu kamarnya.
“Apa
kau punya bukti?” tantang Tawnie.
Tentu
saja Ed tidak memiliki bukti. Semisal rekaman CCTV yang menangkap gadis remaja itu diam-diam menyelinap ke kamar
Ed dan mangambil bukunya dari dalam lemari kayu milik Ed. Panti asuhan ini
terlalu kecil untuk peduli pada hal-hal demikian.
Dan
Ed tidak ingin marah untuk menakut-nakuti Tawnie–Ed percaya Tawnie tidak
semudah itu untuk takut. Atau menangis untuk sekedar mendapatkan perhatian dari
anak-anak lainnya–berharap ada yang membelanya. Atau, mengancam Tawnie bahwa Ed
akan mengadukannya pada Ny. Watson, ah tidak. Yang ada Tawnie malah akan balik
menuduh bahwa Ed yang mencuri bukunya. Tamatnya, Ny. Watson percaya pada
Tawnie.
Ck.
Tapi
pertanyaan retoris Tawnie benar-benar membuatnya muak.
“Kau
gadis menyebalkan, Tawnie. Seujung kuku pun aku tak akan menyukaimu!” Ed
membalik badannya dari hadapan gadis remaja bermata biru itu dan memutuskan
pergi. Ia tak ingin disebut pecundang karena meladeni seorang gadis remaja. Kalau saja Tawnie adalah seorang
laki-laki Ed pasti sudah menghajarnya.
“Hei,
Tuan Parker kecil!” Dug–
Aarrggghh..
“Ups.. Ha..ha..ha” Tawnie tertawa melihat
Ed tersungkur di lantai. “Maaf, Tuan Parker kecil, aku tidak sengaja
mendorongmu.”
“Kau
jelas-jelas sengaja, Tawnie. Kau sungguh keterlaluan!” ujar Ed. Kemudian bangkit
dan balas mendorong Tawnie hingga terjatuh ke belakang, “Ups... Maafkan aku Ny. Kendrick. Aku sengaja melakukanya.”
“Aarrgghh... Sakit!” jerit Tawnie
kesakitan mendapati sikunya berdarah karena mengenai siku-siku meja kayu. Jeritan
Tawnie berhasil mengundang anak-anak lainnya dan termasuk Ny. Watson. Ny.
Watson setengah berlari, membantu Tawnie berdiri dan menatap Ed marah, bibirnya
mengerucut.
“Dia
mendorongku!” Tawnie menunjuk Ed sebagai tersangka. Ny. Watson memicingkan
matanya–menatap Ed, “Kau lagi!”
“Dia
yang memulai!” Ed menunjuk Tawnie yang masih memegangi sikunya berdarah.
“Tidak!
Mana mungkin aku mendorong adikku, Ny. Watson!?” Tawnie membela diri.
“Adik!?
Hah, apa aku tidak salah dengar?” Ed memastikan. “Kau yang mendorongku pertama
kali, Tawnie!”
“Ed,
kenapa kau menuduhku?” Tawnie sedikit meneteskan air mata untuk membuat Ny.
Watson percaya bahwa ia berada dipihak yang benar.
“Oh my God.. Kau pandai bersandiwara,
Tawnie.” Ed maju beberapa langkah mendekati Ny. Watson, “Ny. Watson, percayalah.
Aku–”
“Shut Up, Ed-Par-ker!” bentak Ny. Watson
dengan mata tajam. Pipinya keriput tapi suaranya masih keras terdengar. “Diam
disana! Jangan kemana-mana. Dan pastikan aku akan kembali dan menghukummu
setelah ini.”
Ny.
Watson membawa Tawnie ke kamar untuk mengobati siku Tawnie. Ed menatap rambut
pirang Tawnie benci. Tawnie menoleh ke arah Ed dengan senyuman penuh
kemenangan.
Ed
mendengus kesal. Selalu seperti ini. Shit.
.
Kedua
mata biru Ed menyisir seisi ruangan gelap di hadapannya, kepalanya memaksa ia
mencari alasan mengapa Ny. Watson mengajaknya masuk ke ruangan ini. Biasanya
Ny. Watson akan membawa ke ruanganya untuk menghukum Ed, tapi kenapa sekarang
justru membawa Ed ke ruangan yang Ed terka sudah 13 tahun tidak terjamah. Yeah, seumurnya. Ed tidak mengira di
panti asuhan yang sekecil ini ternyata masih ada ruangan kosong di bawah tanah.
Pengap, gelap, berdebu.
Tangan
wanita tua itu meraba dinding yang berada tak jauh dari pintu, mencari sesuatu
yang bisa membuatnya lebih leluasa melihat seisi ruang. Tak butuh waktu lama,
bola lampu yang berada di tengah ruangan menyala, meskipun pendar cahayanya tak
cukup membuatnya jelas melihat tiap sudut ruangan itu. Remang-remang.
Ny.
Watson menyuruh Ed berdiri menghadapnya.
“Ed-ward-Par-ker,”
Ny. Watson mengeja nama Ed dengan jelas. Ed balas menatapnya jengkel. Ny.
Watson sudah siap dengan tongkat dari akar rotan yang biasa ia gunakan untuk
memukul anak-anak yang melanggar aturan panti. “Ini sudah yang kesekian kau–”
“BUKAN
AKU YANG MEMULAI!” potong Ed dengan nada jengkel.
“Kau
membentakku?!” tanya Ny. Watson tidak terima. Matanya mendelik. Bibir
keriputnya mengerucut kembali. Lalu memukul pergelangan tangan atas Ed dengan
tongkatnya. Ed meringis kesakitan.
Ed
tidak bisa menghitung sudah berapa kali ia dihukum gara-gara Tawnie. Ia juga
tidak tahu mengapa Tawnie begitu memusuhinya. Apakah karena Ed berumur dua
tahun lebih muda daripada Tawnie, sehingga Tawnie dengan mudahnya mem-bully Ed. It’s not fair.
“Tawnie
mengambil bukuku!” ujar Ed. Ny. Watson memukulnya lagi.
“Beraninya
kau menuduh kakakmu! Kau anak nakal!” lalu memukulnya lagi. Dan lagi.
“Ny.
Watson, kumohon, percayalah padaku!” Ed memohon. Malah mendapat pukulan lebih
keras. Kini tulang-tulangnya terasa nyeri. “Aku hanya ingin bukuku kembali Ny.
Watson,” rintih Ed, menahan rasa nyeri di pergelangan tangan akibat pukulan Ny.
Watson yang kepalang keras. Ed sama sekali tidak berminat untuk menangis
seperti yang dilakukan oleh Tawnie untuk mendapat simpati dari wanita tua itu.
Toh, Ed memang tidak bersalah. Tapi ia selalu dipersalahkan.
“Kau
akan ku kurung di ruangan ini!” kata Ny. Watson, “Sampai kau benar-benar
merenung dan menyadari kesalahanmu.” Yeah,
Sepertinya Ny. Watson mengira bahwa ini adalah ruangan yang cocok untuk
merenung.
Ed
mendongak, “Tidak! Aku tidak mau. Aku tidak bersalah,” bela Ed. Lalu mencoba
merengsek keluar. Tapi Ny. Watson menahanya. Ed melawan, tapi wanita tua itu
lebih kuat dari pada yang dibayangkanya. “DIAM!”
Ed
mengendikkan bahu tanda menyerah.
“Aku
akan mengeluarkanmu kalau kau sudah menyadari kesalahanmu. Dan minta maaf pada
Tawnie. Mengerti?!” Ny. Watson menjelaskan, “Jadi, segeralah merenung agar kau
tak lama-lama di ruangan ini, Ed!”
“Aku
lebih baik di ruangan ini dari pada harus minta maaf pada Tawnie, Nyonya!”
balas Ed kesal. Tentu saja tidak sepenuh hati Ed berkata seperti itu. Ed sudah
merasa takut sejak awal ia memasuki ruang bawah tanah itu. Tapi harga dirinya
terlalu mahal untuk digadaikan dengan rasa takutnya. Begitulah Ed.
“Okay. Aku harap kau tak menyesal dengan
perkataanmu, tuan Parker.”
Ny.
Watson keluar dan mengunci pintu dari luar. Menyadari Ed kini sendiri di
ruangan yang sudah 13 tahun tidak terjamah membuatnya takut. Ia berhambur
mendekati pintu dan mencoba membukanya, “Ny. Watson.. keluarkan aku!” teriak
Ed. Tapi nihil. Ia tak ingin menarik ucapanya. Meminta maaf dan mengakui
kesalahan yang tidak ia lakukan adalah konyol. Pikirnya. Yeah, mungkin di sini lebih baik dari pada harus berhadapan dengan
gadis bermuka dua itu dan berlutut di hadapanya–meminta maaf. Oh, tidak.
Ed
membalik badannya dan menyandarkan tubuhnya ke pintu. Ia sedikit lelah. Lalu
memejamkan matanya barang sejenak. Menghela nafas dan mencoba menguatkan hati–di sini lebih baik.
Ed..
Huh,
Ed membuka kembali matanya. Terbelalak. Siapa yang memanggilnya. Apakah Ny.
Watson. Ah, tidak. Suaranya tidak semenakutkan itu. Lalu siapa.
Ed
menyisir setiap sudut ruangan. Mencari sumber desiran suara menakutkan yang
memanggilnya.
Edward Parker..
“Si-
si- siapa kau?” tanya Ed ketakutan. Matanya masih menyelidik. Memekakan
rungunya. Kini ia merasakan seluruh tubuhnya merinding. Tidak ada siapa-siapa,
lalu siapa yang memanggilnya. Suara itu, persis seperti angin yang berhembus. Samar-samar. Tapi jelas
namanya yang dipanggil.
“Siapa
kau?” tanyanya lagi.
Ia
ketakutan. Mencoba membuka ganggang pintu di belakangnya. Ia ingin berteriak
meminta tolong, tapi suaranya terlalu berat untuk keluar. Seperti tercekik.
Tiba-tiba
kelebatan bayangan-bayangan hitam muncul di dinding-dinding bercat coklat itu.
Cahaya lampu yang kurang terang membuatnya menerka-nerka apakah itu sejenis burung
gagak atau mahkluk lainnya.
Kakinya
gemetar. Seluruh benda-benda di ruangan itu bergerak sendiri. Meja, kursi, dan
beberapa perabot rumah tangga. Suaranya berisik berdentum dengan lantai. Angin
muncul secara tiba-tiba, membuat gulungan hingga mengelilingi tubuh kecilnya.
“Tidak!
Lepaskan aku!”
Ed..
Gulungan
angin itu membawa Ed menuju tengah pada sebuah buku di atas meja kayu tua.
Tunggu. Buku itu. Destiny Book. Buku
kuno yang mirip dengan buku Ed yang diambil oleh Tawnie. Kenapa bisa di sini.
Ed ingin mengambilnya, tapi gulungan angin itu seperti tali yang mengikat
tubuhnya sehingga Ed tidak bisa bergerak sama sekali. Ed berusaha melepaskan. Tapi
gulungan angin itu semakin erat mengikatnya.
Aarrrrrggghhh...
Buku
itu membuka dengan sendirinya. Dan, lihat. Nama di halaman awal buku itu. Tawnie Kendrick. Apa maksudnya. Otak Ed
berpikir keras. Buku kuno ini, persis seperti bukunya. Tetapi di halaman awal
tertera nama Edward Parker. Apakah itu
buku milik Tawnie.
Buku
itu membuka halaman selanjutnya. Dan Ed dapat melihat Tawnie di sana. Sebuah
masa lalu. Seperti sebuah film yang sedang diputar. Ed kaget melihat Tawnie
yang menangis karena di pukuli oleh beberapa teman lelakinya di sekolah. Hey, kenapa Tawnie di pukul. Ed
mengernyitkan dahi.
Lalu
beralih ke halaman selanjutnya. Ed melihat Tawnie mengambil beberapa dolar dari
dalam laci meja Ny. Watson. Dan, waktu itu Ed-lah yang jadi sasaran tuduhan pencuri uang panti. Damn it. Ternyata Tawnie.
Buku
itu membuka halaman selanjutnya. Future.
Cahaya terang tiba-tiba muncul dari halaman tenagh buku itu. Film tak lagi diputar
seperti tadi. Cahaya itu semakin terang dan seolah menarik Ed masuk ke dalam
buku itu. “Lepaskan aku!” Ed beringsut, “Tidak! Tidak!” buku itu menarik Ed dan
menelanya. Ed Hilang. Ruangan kembali senyap.
*
“Sayang,”
seorang wanita membuka gorden krem kamarnya. Seberkas cahaya masuk, menyinari
wajah lelaki yang masih pulas tertidur itu.
“Sayang,
bangun! Kau lupa ini hari apa?” wanita itu menggoyang-goyang tubuh lelaki yang
masih bergelung pada selimutnya.
Lelaki
itu membuka perlahan matanya. Mengerjab-ngerjab kendati mengumpulkan nyawa yang
masih terbuai tidur panjangnya. Ia memutar bola matanya.
Tunggu.
Sayang–katanya.
Lelaki
itu langsung terduduk. Mengamati sekitar dengan kebingungan. Pikiranya
berkelana. Lalu memandang wajah wanita yang memanggilnya ‘sayang’ tadi. Tawnie. Wanita itu memerhatikan sikap
lelaki di hadapanya dan mengangkat kedua alisnya seolah bertanya ‘ada apa?’.
“Kau
Tawnie Kendrick?” tanya lelaki itu keheranan.
“Of course, aku Tawnie,” balas wanita itu
dengan senyumnya yang menawan. Sesungguhnya lelaki itu berdebar menatap mata
birunya dan senyum menawannya. Tapi otaknya masih belum menerima keanehan yang terjadi
setelah ia terbangun dari tidur panjangnya. Apakah ini mimpi. Kenapa tiba-tiba Tawnie
memanggilnya sayang dan membangunkanya dengan lembut. Dan, lihat, betapa Tawnie
menjadi sangat cantik. Mungkin ini mimpi–pikir lelaki itu.
“Aku
dimana?” lelaki itu bangkit dari ranjangnya dan melihat keluar melalui jendela.
“Di
rumah kita, tentu saja.”
“Rumah
kita?” tanya lelaki itu semakin bingung, “Maksudmu, Panti?”
“Sayang,
ada apa denganmu? Tidak seperti biasanya,” tanya wanita itu, kemudian
menempelkan punggung tangannya pada dahi lelaki itu, “Kau seolah seperti orang
yang amnesia,” lanjutnya, “Apa kepalamu terbentur sesuatu?”
Lelaki
itu hanya menggeleng. Sejujurnya banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam
benaknya. Tapi ia urungkan untuk bertanya. Lelaki itu masih berfikir bahwa ini
adalah mimpi. Yeah, ini pasti mimpi.
Lelaki
itu berjalan mundur. Kakinya tersandung kaki meja rias. Ia mengaduh kesakitan.
“Hati-hati
sayang,” ujar wanita itu memperingatkan.
Lelaki
itu tercengang. Kenapa ini sakit. Bukankah ini mimpi. Ia mendelik bingung. Lalu
menampar pipinya sendiri. Sakit. Tidak mungkin. Apakah ini nyata.
Ia
melihat dirinya pada sebuah cermin. Dan ia kaget mendapati dirinya yang
menyerupa seperti orang lain. Jambang ini, rambut ini, dada bidang ini,
semuanya milik orang dewasa. Tapi, tanda lahirnya masih ada. Apakah ini
aku–batinnya.
“Tawnie,
ceritakan padaku apa yang telah terjadi?!” lelaki itu mengoyang-goyangkan tubuh
Tawnie. Mata birunya menyelidik raut keheranan Tawnie.
“Akulah
yang seharusnya bertanya ada apa denganmu, Ed?!” ujar Tawnie.
“A-aku..
tadi berada di sebuah ruang bawah tanah di panti. Dan aku ketakutan karena aku
di kurung, sendirian oleh Ny. Watson,” jelas lelaki itu, “Lalu aku melihat
semua benda bergerak, dan–”
“Ed,
sayang, kau pasti mimpi buruk lagi,” potong Tawnie sembari membereskan tempat
tidur. “Mandilah. Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu dan anak-anak kita. Hari
ini kau janji akan mengajak kami liburan akhir pekan, bukan?!”
“Anak?!”
tanya Ed bingung, “Maksudmu, anak-anak panti?!”
“Ed–”
wanita itu mengernyitkan dahi. “Apakah kau masih trauma?” tatapan iba Tawnie
terbaca oleh Ed. “Maksudku, kau dikurung di ruang bawah tanah, kau ketakutan, kau
melihat semua benda-benda bergerak sendiri dan aku menemukanmu pingsan di sana,
itu semua sudah terjadi 20 tahun lalu,” jelas Tawnie dengan tenang.
“Kau
harus melupakanya, Ed!”
Jadi, apakah aku sedang berada di
masa depan?
Ed
bertanya dalam hati.
Kalau
begitu, buku itu. Adalah buku takdir. Destiny
Book. Ed ingat, ia masuk ke dalam cahaya yang muncul pada buku takdir milik
Tawnie. Dan ketika Ed terbangun, ia sudah berada di masa depan Tawnie. Dan, hey, apakah Ed yang akan menjadi suami
Tawnie. Ed berfikir keras. Dalam batinnya menolak jika ia adalah pasangan hidup
Tawnie di masa depan. Ini tidak boleh terjadi. Kau tahu kan betapa Ed tidak
menyukai gadis itu.
“Tidak!”
Ed mengibaskan tangan Tawnie dari wajahnya. “Aku harus kembali!”
“Kembali?
Kemana?” tanya Tawnie bingung.
Ke masa lalu.
Ed..
Suara
itu. Seperti hembusan angin yang memanggil namanya. Suara itu, persis seperti
suara menakutkan pada ruang bawah tanah panti. Ed merinding. Dilihatnya Tawnie
tak lagi depannya. Ia memutar badannya mencari sumber suara itu.
Edward Parker..
Tiba-tiba
kepalanya pusing. Dan membanting tubuhnya pada dinding kamarnya. Ia memegangi
kepalanya. Dan melihat semua benda-benda berputar dengan sendirinya. Dan
ruangan itu, berputar seperti angin-angin yang bergelung. Dan, gelap.
**
“Hey..”
gadis itu menendang kaki Ed.
“Bangunlah,
tuan Parker kecil!” Tawnie menggoyang-goyangkan tubuh Ed dengan kakinya,
malas-malasan. “Bangunlah, atau aku akan menghajarmu!”
Ed
membuka matanya perlahan.
“Aku
dimana?” tanyanya.
“Di
ruang bawah tanah panti, tentu saja!”
Ed
bangkit dengan terburu. Wajahnya kaget melihat Tawnie membangunkanya. Ia
memutar bola matanya. Aneh. Tadi ia terbangun di sebuah kamar yang nyaman dan
menemukan Tawnie dengan senyuman menawan, tapi sekarang ia terbangun di sebuah
ruangan pengap dan kotor serta mendapatkan Tawnie dengan wajah jahatnya.
Apakah aku sudah kembali dari masa
depan?
Batinnya.
“Ny.
Watson menyuruhku untuk mengeluarkanmu dari ruangan ini, kau puas!” kata
Tawnie. “Asal kau tahu, kau sudah di kurung selama tiga hari, tanpa makan,
tanpa minum,” lanjutnya dengan ketus. “Dan aku merasa bersalah untuk hal ini.
Kau juga harus berterimakasih kepadaku karena aku sudah mengakui kesalahanku,
tahu!”
Ed
berdiri sempoyongan, memegangi kepalanya yang sedikit sakit.
“Ini!”
Tawnie menyodorkan sebuah buku bersampul coklat. Destiny Book. Edward Parker.
“Kau
letakkan saja di sana,” Ed menunjuk sebuah meja kayu yang di atasnya juga
terdapat buku serupa milik Tawnie. “Aku sudah tidak menginginkanya, kau tahu!”
“Kenapa?
Bukankah kemarin kau sangat menginginknya?!” tanya Tawnie penasaran.
Tawnie
meletakkan buku itu di atas meja kayu, sejajar dengan buku takdir milik Tawnie.
Tawnie penasaran mengapa kedua buku itu sangat mirip.
“Jangan!”
larang Ed saat mengetahui Tawnie hendak membuka buku itu. Tanpa balik bertanya
Tawnie mengikuti intruksi Ed, “Lebih baik kita segera keluar.” Tawnie dengan
cepat berhambur ke pintu keluar. Ed masih lambat untuk berjalan. Dan masih
memegangi kepalanya dengan tangan kanan.
“Tawnie–”
panggil Ed. “Bisakah kau membantuku berjalan?”
“Ya
Ampun, Ed, sejak kapan kau menjadi anak manja seperti ini?” ledek Tawnie. Ed
hanya tersenyum malu. Ed bisa saja berjalan sendiri. Tapi Ed hanya ingin
sedikit akrab dengan gadis yang dua tahun lebih tua darinya itu. “Ok, baiklah. Kau harus membayarnya
nanti.”
“Tawnie–”
“Emm–”
“Maukah
kau jadi teman hidupku suatu saat nanti?”
Pertanyaan
Ed hanya menimbulkan kerutan di dahi Tawnie.
-fin-
Mungkin
fantasiku tak seindah anak-anak. Tapi percayalah, aku sudah berusaha maksimal.
Just
like that.