Bulir-bulir peluh membasahi
pelipisku, berjalan perlahan hingga mengaliri pipi yang sudah kutaburi tipis
bedak baby favoritku. Sesekali kuseka dengan ujung jari tanganku yang juga
mulai berkeringat dingin. Detak jantung tak beraturan, berdetak lebih cepat
dari biasanya. Darahpun mengalir lebih deras dari ujung kapala hingga ujung
kaki. Tarik nafas, lalu keluarkan. Berkali-kali kulakukan itu. Berdiri,
berjalan kekakan, kekiri lalu duduk lagi. Ku pandang diriku sendiri didepan
cermin, memperbaiki jilbab hitam yang kukenakan. Senyum. Lalu duduk lagi. Ku
lirik layar HP. Satu pesan.
“Rumahnya yang mana sayang? Aku sudah di jalan menurun ni!” Rian. Mati aku. Semakin kencang detak jantungku. Gugup.
“Apa?
Balik lagi. Rumahku gak sampai sana. Itu terlalu jauh. Aku tunggu sayang
didepan rumah ya.” Balas pesanku pada Rian, pacarku.
Aku berjalan dengan hati antara
bahagia, gugup, malu dan lain sebagaianya. Bagaimana tidak? Ini adalah kali
pertamanya aku mempunyai pacar. Dan hari ini juga aku akan jalan denganya.
Selama SMA aku dikenal tidak pernah pacaran dan termasuk siswa yang baik dan
berprestasi. Ini pertemuan pertama kita setelah empat hari yang lalu kami
jadian. Padahal sudah satu tahun aku memendam perasaan cinta padanya. Dan tiga
hari yang akan datang aku akan pergi untuk melanjutkan kuliah diluar kota.
Terpaksa kami harus menjalani LDR atau Long Distance Relationship atau hubungan
jarak jauh.
Diujung jalan sebelah timur ku
melihatnya dengan mengenakan jaket abu-abu bercampur ungu, wajahnya terlihat
dari kejauhan karena kaca helm yang ia kenakan tidak ditutup. Hati ini semakin
tak beraturan. Pikiran berkecamuk. Kaki ku sedikit gemetar. Tanganku gugup.
Motornya semakin mendekat kearahku. Kupersiapkan senyuman termanisku untuknya.
Ku tarik nafas dalam-dalam. Tenang. Dan kini dia benar-benar dihadapanku dengan
sesungging senyum manisnya hingga nampak gigi gingsulnya. Seketika membuatku
benar-benar terpesona. Ku tatap wajahnya lamat-lamat. Ia masih duduk diatas
motornya, lalu mempersilahkanku duduk dibelakangnya. Dia melirik jam di HP nya.
Pukul 17.05 WIB.
“Udah
siap? Kita berangkat ya.” Kata Rian dengan nada seperti pilot yang hendak lepas
landas. Aku tersenyum dan mengiyakan saja. Akupun senyum-senyum sendiri saat
diatas motornya. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Jujur saja ini kali
pertamanya aku berboncengan berdua dengan seorang pacar. Gugup tentu saja. Malu
tentu saja iya.
Rian lalu mengatur kaca spion
kirinya agar ia dapat melihatku. Aku melarangnya, karena aku benar-benar malu.
Tapi ia tetap melakukan. Aku semakin tersipu saat ia mencuri pandangan melalui
kaca spionya. Lalu dia menyerahkan HP nya kepadaku dan menyuruhku untuk membaca
semua pesanya. Aku melakukanya. Lagi-lagi aku hanya senyum-senyum sendiri. Membaca
beberapa pesan dari kakak senior yang sengaja mencandai dirinya denganku. Rian
pun mneceritakan kronologi pesan itu. Dan lagi-lagi aku hanya tersenyum.
Kulirik kaca spion itu, tak sengaja pandangan kita bertemu. Dia tersenyum manja
dan satu pukulanku mendarat di bahunya. Dia mengaduh, dan ku lihat gelak
tawanya. Benar-benar bahagia aku saat ini. Tuhan, apakah ini namanya Cinta? Di
satu sisi aku merasakan bahagia tapi sisi lain aku merasa sangat sedih tiada
terkira. Sedih yang tiada kutemu titik kecerahan.
“Fira sayang,,, aku ingin menunjukan
sesuatu sama kamu.” Wajahnya serius terlihat dari kaca spion motornya. Dia
masih fokus menyetir. Dan tiba-tiba jari telunjuk kirinya menunjuk keujung
sebelah barat.
“Lihat itu! Indah kan?” tanya Rian
padaku. Aku mengangguk dan terpana melihat pemandangan senja kala itu. Indah
sekali. Hamparan hijaunya padang rumput yang membentang luas bak permadani
dipadu dengan orange langit. Beberapa burungpun ikut mempercantik pemandangan
senja itu. Matahari dengan lingkaran sempurnanya berwarna orange perlahan mulai
bersembunyi. Beberapa awan hendak menghalangi sinar matahari senja itu namun
awan seolah tau bahwa dua insan yang sedang menikmati senja kala itu sedang
terpana oleh kecantikan merah saga sang matahari senja.
“Inikah yang mau kamu tunjukan
padaku? Indah sekali. Indaaah sekali sayang. Makasih ya.” Kataku dengan mata
berkaca-kaca. Haru. Ini tak pernah kualami sebelumnya. Bersama orang yang aku
cintai. Karena aku selalu tersibukkan oleh gelapnya kehidupan rumah. Tersibukkan
oleh sunyinya dan heningnya hidup. Tersibukkan oleh kesendirianku. Tapi sore
ini, Rian benar-benar membuka mataku. Bahwa hidup itu indah. Indah karena kita
memiliki cinta. Dan cinta itulah yang membuat indah. Membuka hati dan pikiran
bahwa hidup tak selamanya hening, tak selamanya gelap, tak selamanya sendiri.
Asalkan masih terselip cinta dihati kita maka semua akan indah. Seperti
indahnya senja sore ini. Yang kulalui bersama orang yang kucintai. Rian.
“Fira, Aku Cinta Kamu” Rian dengan
wajahnya yang serius mengatakanya kepadaku. Disaksikan oleh hamparan
hijaunya padang rumput dan matahari
senja sore ini. Semuanya menyaksikan. Senja ini. Dunia seolah berhenti
berputar. Jantungku berhenti berdetak. Tak kurasakan aliran darahkan lagi. Aku
benar-benar terbawa oleh suasana senja sore itu. Dia menyatakan itu untuk
pertama kalinya secara langsung. Dan dialah orang pertama yang mengatakanya
kepadaku. Apakah ini mimpi? Tidak. Ini bukan mimpi. Ini nyata. Ia melanjutkan
kalimatnya,
“Kamu
tahu begitu indahnya matahari senja itu. Tapi sungguh dirimu jauh lebih indah
dimataku. Aku mencintaimu, Fira”.
“
Iya. Aku juga mencintaimu. And I want to stand here with you, Rian.” Jawabku
serius.
“Boleh
ku genggam tanganmu?” katanya. Tangan kirinya menengadah kepadaku. Seolah
menunggu tanganku mendarat ditanganya. Membuat hati ini semakin tak karuan.
Benar-benar dalam kebimbangan. Tuhan, sungguh aku mencintainya. Dia membuatku
bahagia. Tapi kenapa harus seperti ini? Kenapa harus pada dia? Kenapa harus
pada kepercayaan? Ya. Kepercayaan. Kenapa Tuhan?
“Boleh?”
katanya dengan lebih serius. Lalu aku menggeleng. Ku lihat raut wajah yang
kecewa padanya. Tapi ia tetap berusaha tersenyum agar aku juga tetap tersenyum.
Ku yakin apa yang ia pikirkan sama dengan apa yang ku pikirkan. Pikiran pada
satu masalah yang memang tak akan pernah ada ujungnya. Seketika ku lihat
matahari seolah ia juga merasakan kesedihan yang tiba saja melanda hatiku. Dan
senja ini. Senja sore ini tak akan pernah lupa bahwa kami pernah merasakan
indahnya cinta. Walau kami berbeda
kepercayaan.
***
Tujuh bulan sudah aku menjalani
hubungan ini. Walau terpisah jarak dan waktu yang cukup jauh tapi kami selalu
percaya dan saling setia. Keterbukaan dan kejujuran adalah kunci kami untuk
mempertahankan segala perasaan yang ada. Ketika aku merasa rindu dengannya maka
aku akan pergi kepantai dan melihat matahari yang hendak membenamkan dirinya.
Karena dengan melihat matahari senja-lah semua rindu akan terluapkan. Seolah senja telah menjadi teman
saat aku merasa bahagia dan sedih sekaligus. Dan mengukir senyum wajahnya yang
terbayang dibenakku dikanvas orange yang membentang luas diselimuti mega-mega.
Langit senja itu. Masih tetapi indah. Indah karena cinta. Cinta antara dua
insan yang berbeda agama. Aku seorang muslim dan Rian seorang nasrani.
Menyedihkan
memang. Saat aku mulai merasakan indahnya cinta, saat itu pula aku merasakan
kesedihan karena cinta. Saat aku menemukan seseorang yang mampu mengubah
duniaku, saat itu pula dunia menjadi jauh lebih gelap dari sebelumnya. Saat aku
mampu tersenyum bahagia bersamanya, saat itu pula bulir-bulir air mata menetes
menbanjiri mataku. Lalu dimana letak indahnya? Dimana letak kebahagiaanya?
Mencintai seseorang yang berbeda kepercayaan itu membahagiaakan sekaligus
menyakitkan. Lalu bagaimana aku dan Rian bisa bertahan hingga tujuh bulan?
Tetap mengerti, percaya dan setia.
Diselingi oleh tawa bahagia hingga air mata kesedihan.
Tapi
senja sore ini, tiba berubah memecah lamunanku. Segerombolan awan hitam dengan
cepatnya menutup matahari orange yang indah itu, hingga segerombolan yang lain
menutup langit dan merapatkan barisanya. Laut yang sedari tadi tenang kini
mulai berontak dengan menghantamkan ombaknya keras hingga menabrak bebatuan
dipantai. Kilatan-kilatan petir mulai terlihat diufuk barat. Gemuruhnya hadir
memekakan telingaku. Kenapa? Kenapa kali ini senja tidak bersahabat denganku?
Membuyarkan bayangku pada seseorang yang aku cintai. Menghapus lukisan-lukisan
wajahnya yang kuukir indah dilangit. Seakan membangunkanku dari angan-angan
belaka. Angan-angan dan harapan yang tak akan pernah ada ujungnya. Ya. Harapan untuk menyatukan cinta kita.
Cinta beda agama. Itu tak akan mungkin.
Senja
itu, seolah menggungahku dari butanya diriku terhadap cinta. Membangunkanku
dari kesedihan yang selama ini ku rasakan. Aku dan Rian memang tak akan pernah
bersatu dengan perbedaan agama kita. Walau kami saling mencintai, tapi saling
menunggu untuk masuk kedalam agama kami masing-masing memang tidaklah mungkin.
Kecuali dengan kekuatan cinta Tuhan yang dapat mempersatukan kita dalam satu
agama. Mempertahankan ego kami memang dapat menyakiti hati kami. Dan salah
satunya cara untuk mengakhiri kesedihan ini adalah dengan mengakhiri hubunganku
denganya. Sungguh berat bagiku dan juga baginya. Tapi tak ada jalan untuk dapat
mengakhiri kesedihan dari dua insan yang saling mencintai dalam perbedaan agama
ini.
Malam
itu, adalah awal yang berat untukku mengakhiri hubungan kita. Tapi aku harus
melakukanya. Senja itu benar. Bersatu dalam dua agama tidaklah mungkin. Dan
terus bertahan dalam kesedihan adalah hal bodoh. Dan kini aku benar-benar
melakukanya. Dan air mata ini tak henti-hentinya mengalir hingga menganak
sungai dipipi. Hati ini seperti tertusuk oleh ribuan pedang tajam. Jiwa ini
seolah hilang untuk sesaat. Tapi ini sudah keputusan kita berdua. Untuk
mengakiri kesedihan yang selama ini memenjara kami berdua.
Dan
kini saatnya kesedihan baru berdatangan. Datang untuk waktu yang sangat lama
dan sungguh sangat menyiksa batinku. Karena kenangan yang pernah kita lalui
bersama masih tergambar jelas dipikiranku. Begitu indah dan begitu
membahagiakan. Namun perlahan aku memang harus melupakan kenangan yang dapat
menyayat hatiku. Perih akibat luka masa lalu kini melanda diriku. Dan aku harus
mampu mengusirnya. Selamat datang kesedihan baru bersama kenangan masa lalu.
Aku akan menghadapimu. Sendiri. Tanpa Rian. Dan tanpa Cinta. Hingga aku dapat
menemukan cinta yang baru yang dapat membuat hidupku kembali. Senja memang tak
merestui kita. Karena kita berbeda agama.